You must have JavaScript enabled in order to use this theme. Please enable JavaScript and then reload this page in order to continue.
Latar Desa Kapul
Logo Desa Kapul

Kapul

Website resmi Desa Kapul

Kec. Halong, Kab. Balangan, Provinsi Kalimantan Selatan

mari dukung pemerintah desa untuk membangun dan meningkatkan kualitas desa mandiri..! Lebih lanjut..

Belajar dari Banjir Sumatera 2025: Internet of Things (IoT), Literasi Digital, dan Jaringan Telekomunikasi Jadi Kunci Mitigasi Bencana Alam dan Peringatan Dini

Robert Rully Pernando Rabu, 17 Desember 2025 07:33 WITA Dibaca 22 Kali
Belajar dari Banjir Sumatera 2025: Internet of Things (IoT), Literasi Digital, dan Jaringan Telekomunikasi Jadi Kunci Mitigasi Bencana Alam dan Peringatan Dini

KAPUL, 17 Desember 2025 — Bencana banjir dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di Sumatra sejak akhir November 2025 menjadi pengingat dan menegaskan bahwa peringatan dini yang cepat dan tepat masih jadi pekerjaan besar. Sistem peringatan dini belum boleh berhenti pada “informasi cuaca”, tetapi harus sampai menjadi aksi cepat di tingkat warga. Di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, dampak bencana ini bukan hanya soal air yang meluap, melainkan juga soal putusnya komunikasi saat masyarakat paling membutuhkan koordinasi. Berdasarkan pembaruan otoritas kebencanaan, jumlah korban meninggal dilaporkan telah melampaui seribu orang dan ratusan ribu warga sempat mengungsi, sementara ratusan lainnya masih dilaporkan hilang.

Sebelumnya, BMKG telah mengeluarkan peringatan cuaca ekstrem terkait terbentuknya Siklon Tropis Senyar pada 26 November 2025 dan meminta wilayah seperti Aceh dan Sumatera Utara meningkatkan kewaspadaan terhadap hujan lebat hingga ekstrem serta angin kencang. Di sisi lain, tren banjir secara nasional juga masih tinggi. Dalam rentang 2014–2023, tercatat 8.333 kejadian banjir di Indonesia (berdasarkan Kompilasi data BNPB yang dirangkum Goodstats). Angka ini memperkuat urgensi untuk menambah “lapis” mitigasi yang lebih canggih, terutama di daerah aliran sungai (DAS) dan titik rawan banjir perkotaan maupun perdesaan. Artinya, kebutuhan membangun mitigasi berbasis data bukan sekadar wacana, melainkan kebutuhan rutin yang berulang setiap musim hujan.

Salah satu pendekatan yang makin sering dibahas adalah Internet of Things (IoT) untuk peringatan dini banjir. Di titik ini, Internet of Things (IoT) menjadi salah satu pendekatan yang semakin masuk akal untuk memperkuat peringatan dini banjir. Dimana konsep sederhananya yakni memasang sensor di lokasi rawan (sungai, drainase, pintu air, bendungan) untuk memantau tinggi muka air dan/atau curah hujan, lalu mengirim data real-time ke sistem pemantauan (dashboard/aplikasi) agar petugas dan warga menerima sinyal bahaya lebih cepat. Materi BMKG tentang Monitoring dan Peringatan Dini Banjir berbasis IoT menekankan alur ini mulai dari pengumpulan data otomatis, analisis, hingga penyampaian peringatan untuk mendukung keputusan mitigasi.

Secara teknis, sistem IoT banjir umumnya terdiri dari beberapa “blok” utama. Pertama, sensor (misalnya ultrasonik/tekanan) yang membaca ketinggian air. Kedua, mikrokontroler seperti ESP8266/ESP32 yang mengolah pembacaan sensor. Ketiga, konektivitas mulai dari GSM/4G, Wi-Fi, hingga jaringan hemat daya seperti NB-IoT, untuk mengirim data ke server atau cloud. Setelah data sampai di server/cloud, platform akan menyimpan, memvisualisasikan (dashboard), dan menjalankan aturan ambang batas (threshold). Ketika level air melewati batas aman, sistem dapat memicu notifikasi otomatis, misalnya SMS/WhatsApp, notifikasi aplikasi, sampai sirene di lokasi, sehingga evakuasi bisa dilakukan sebelum banjir meluas.

Dalam skenario nyata, informasi cuaca dari BMKG memberi gambaran risiko luas, namun pengalaman di lapangan menunjukkan, peringatan regional tetap perlu dilengkapi dengan data yang lebih spesifik di tingkat lokasi, misalnya seberapa cepat muka air naik di titik sungai tertentu, dan kapan ambang bahaya terlewati. Di titik inilah sensor IoT bisa berperan sebagai “mata dan telinga” lokal, mengubah peringatan cuaca menjadi sinyal operasional berbasis data lokasi. Sejumlah riset prototipe juga menunjukkan skema pemantauan real-time semacam ini dapat berjalan dengan baik untuk deteksi kenaikan muka air. Contoh implementasi serupa juga berkembang di luar negeri, misalnya Deutsche Telekom, menjelaskan model peringatan dini berbasis sensor IoT yang mengukur presipitasi, level air, dan perilaku aliran, lalu mengirimkannya lewat NB-IoT/LTE-M ke cloud untuk dianalisis dan dipakai sebagai dasar peringatan bagi kota/kabupaten.

Urgensi inovasi mitigasi juga semakin kuat karena banjir dan badai masih mendominasi bencana iklim secara global. WIPO (Green Technology Book) mencatat bahwa badai dan banjir pada 2023 mencakup 76% bencana di seluruh dunia, menandakan kebutuhan peningkatan kesiapsiagaan berbasis teknologi dan data kian relevan. Namun, pelajaran paling keras dari bencana Sumatera 2025 adalah bahwa sistem digital apa pun akan rapuh bila jaringan dan listrik tidak tangguh. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengakui pemulihan jaringan di Aceh terhambat gangguan pasokan listrik, dan pemberitaan menyebut sekitar 60% BTS di Aceh belum beroperasi pascabencana pada awal Desember. Di saat seperti ini, strategi cadangan menjadi krusial. Komdigi menyiagakan titik internet darurat berbasis SATRIA-1 di lokasi bencana. Selain itu, BAKTI Kemkomdigi melaporkan pemulihan 413 dari 602 user terminal SATRIA-1 di wilayah terdampak banjir Sumatera (data per 6 Desember 2025), menegaskan bahwa konektivitas satelit dapat menjadi penopang ketika jaringan terestrial terganggu. Bagi penerapan IoT di daerah rawan banjir, konteks ini sangat penting, sensor boleh murah dan cerdas, tetapi rantai nilainya baru bekerja jika konektivitas tersedia mulai dari LPWAN/NB-IoT/seluler hingga jalur cadangan saat darurat.

Teknologi peringatan dini juga tidak akan efektif jika masyarakat tidak terbiasa memeriksa sumber resmi, memahami arti status siaga/awas, dan tahu prosedur evakuasi. Dalam praktiknya, literasi digital menentukan apakah peringatan akan dipercaya atau diabaikan, dipahami atau disalahartikan, dan direspons cepat atau terlambat. Pada bencana skala besar, masalah informasi sering bercampur dengan misinformasi. Karena itu, pelajaran dari Bencana Alam Sumatera 2025 seharusnya mendorong program yang berjalan berdampingan seperti pemasangan sistem peringatan dini berbasis IoT sekaligus edukasi literasi digital kebencanaan perlu juga dilakukan melalui kanal yang paling dekat dengan warga misalnya grup komunikasi resmi RT/RW, radio komunitas, sosial media, sekolah, hingga simulasi evakuasi berkala.

Dari banjir Sumatera 2025 ini juga dapat dipelajari bahwa pentingnya adanya sinergi dalam mitigasi bencana, penguatan infrasturktur jaringan agar tangguh, literasi yang maksimal, dan pemanfaatan teknologi yang tepat menjadi tiga pilar yang harus berjalan bersamaan. Dengan kombinasi ini, IoT bukan lagi sekadar proyek teknologi, tetapi investasi keselamatan, membeli waktu beberapa menit hingga puluhan menit yang sering kali menentukan selamat atau tidaknya warga saat banjir datang.

Bagikan Artikel Ini
Beri Komentar
Komentar baru terbit setelah disetujui oleh admin
CAPTCHA Image

APBDes 2025 Pelaksanaan

APBDes 2025 Pendapatan

APBDes 2025 Pembelanjaan